Senin, 03 Desember 2012

KEADAAN KEPARIWISATAAN DI INDONESIA


Pariwisata di Indonesia merupakan sektor ekonomi penting di Indonesia. Pada tahun 2009, pariwisata menempati urutan ketiga dalam hal penerimaan devisa setelah komoditi minyak dan gas bumi serta minyak kelapa sawit. Kekayaan alam dan budaya merupakan komponen penting dalam pariwisata di Indonesia. Alam Indonesia memiliki kombinasi iklim tropis, 17.508 pulau yang 6.000 di antaranya tidak dihuni, serta garis pantai terpanjang ketiga di dunia setelah Kanada dan Uni Eropa. Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar dan berpenduduk terbanyak di dunia. Pantai-pantai di Bali, tempat menyelam di Bunaken, Gunung Rinjani di Lombok, dan berbagai taman nasional di Sumatera merupakan contoh tujuan wisata alam di Indonesia. Tempat-tempat wisata itu didukung dengan warisan budaya yang kaya yang mencerminkan sejarah dan keberagaman etnis Indonesia yang dinamis dengan 719 bahasa daerah yang dituturkan di seluruh kepulauan tersebut. Candi Prambanan dan Borobudur, Toraja, Yogyakarta, Minangkabau, dan Bali merupakan contoh tujuan wisata budaya di Indonesia. Hingga 2010, terdapat 7 lokasi di Indonesia yang telah ditetapkan oleh UNESCO yang masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia. Sementara itu, empat wakil lain juga ditetapkan UNESCO dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia yaitu wayang, keris, batik dan angklungKita harus akui bahwa kepariwisataan Indonesia tidak berkembang pesat dibanding negara Asean lainnya, seperti Singapura, Malaysia, maupun Thailand. Sebenarnya, mengapa Indonesia begitu tertinggal, bahkan seakan ditinggalkan oleh wisatawan dunia dalam dekade belakangan ini? Memang banyak yang telah dialami oleh sektor pariwisata, sekalipun para pelakunya terus berusaha keras untuk bertahan menghadapi berbagai terpaan, dari krisis multi-dimensional, sampai terorisme, gempa bumi, tsunami, dan flu burung. Sampai terakhir larangan terbang Uni Eropa (Europe Union/EU) dan perpanjangan larangan ke EU terhadap maskapai penerbangan Indonesia. Larangan ini telah melumpuhkan daerah terpencil yang perekonomiannya sangat bergantung kepada kunjungan wisatawan, semisal Nias, Toraja, Maluku, dan Papua. Pada akhir bulan Oktober lalu, the World Economic Forum (WEF) menerbitkan Index Daya Saing Pariwisata Dunia tahun 2007. Index ini menempatkan Indonesia pada peringkat 60. Sedangkan Singapura berada pada No. 8, Malaysia no. 31, dan Thailand no. 43. Lagi-lagi, ini merupakan kenyataan yang harus dihadapi Indonesia. Ternyata, penilaian WEF terhadap daya saing tidak saja diukur dari keindahan alam dan keanekaragaman budaya dari suatu destinasi. Bukan juga semata masalah harga yang kurang menarik, ataupun sektor swasta yang kalah berbisnis. Rapor daya saing versi WEF ini didasarkan kepada 13 kriteria, yaitu: perundangan, peraturan dan kebijakan yang menata dan mengembangkan pariwisata dan perjalanan (tourism and travel); kebijakan lingkungan hidup; keamanan destinasi; kebersihan; kesehatan; penempatan travel and tourism sebagai prioritas pembangunan; infrastruktur perhubungan udara; infrastruktur pariwisata; infrastruktur teknologi informasi; daya saing harga; mutu dan kinerja sumber daya manusia; persepsi nasional terhadap pariwisata; dan baru terakhir: sumber daya alam dan budaya. Jelas bahwa sebagian terbesar dari kriteria-kriteria tersebut merupakan kewenangan instansi lain di luar pariwisata. Penilaian Index Pariwisata Indonesia pada tingkat 60, selain didasarkan pada statistik dan data, mau tidak mau juga didasarkan pada persepsi dunia yang oleh media televisi global termasuk media di Indonesia sendiri. Memberi kesan bahwa negara ini tetap kurang aman, kotor, tidak sehat, dan lain-lain, yang semuanya menghambat keinginan dan nyali wisatawan untuk berlibur di Indonesia. Tetapi jujur saja, selain faktor eksternal, ada juga masalah internal kepariwisataan yang bermuara kepada lemahnya Indonesia bersaing di kancah pariwisata global. Padahal Indonesia itu sebenarnya luar biasa. Bayangkan, sumber daya manusianya saja rata-rata sudah berkualitas tinggi, aset pariwisatanya juga tidak kurang-kurang, hanya memang masalah manajemen kepariwisataan masih perlu dibangkitkan. Bila kita teliti kriteria yang menjadi dasar penilaian WEF di atas. Maka sebenarnya kelemahan pariwisata Indonesia terletak pada lemahnya manajemen dan kepemimpinan destinasi di setiap tingkat. Selain itu, lemahnya profesionalisme SDM di semua tingkatan, tidak jelasnya political will (dari eksekutif maupun legislatif) yang secara konsisten memprioritaskan pengembangan kepariwisataan, yang terasa pada minimnya anggaran yang dialokasikan kepada sektor ini. Sehingga dengan sendirinya Indonesia tidak mampu bersaing dengan negara lain yang memiliki biaya jauh lebih besar bagi pembangunan dan pemasaran sektor pariwisata.



Dalam hal penyelenggaraan kepariwisataan, pada hakekatnya dilakukan atas dasar beberapa hal yang menjadi motivasi serta kebutuhan setiap orang yang melakukan perjalanan. Tidak peduli ia bepergian untuk keperluan keluarga, bisnis, pesiar, kesehatan, keagamaan, konferensi, pertandingan olahraga, pendidikan, atau apapun yang lainnya -, ia akan mendatangi tempat di mana keperluannya itu dapat dipenuhi. Beberapa prioritas pembangunan sektor kepariwisataan dimaksud antara lain adalah kesiapan masyarakat dalam penggunaan bahasa internasional (bahasa Inggris), kesiapan dalam penciptaan keamanan, pelatihan ketrampilan, serta peningkatan kemampuan manajemen. Dengan kata lain tempat yang menjadi tujuan perjalanannya memiliki sesuatu yang memotivasinya untuk berkunjung ke situ, – dalam kepariwisataan disebut sebagai daya tarik (attraction), – apakah itu motivasi keluarga, bisnis, pesiar, kesehatan, keagamaan, konferensi, olahraga, pendidikan dsb., yang ada kaitannya dengan unsur alam dan budaya serta kegiatan hidup lainnya, yang melibatkan ataupun terkait dengan masyarakat di tempat tujuan tersebut. Perlu kita ketahui bahwa Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) mencatat ada sebanyak 705 juta turis internasional pada periode Januari-Oktober 2012. Jumlah ini diperkirakan terus melonjak dan mencapai rekor baru yaitu 1 miliar turis pada akhir 2012. Sebagai perbandingan, tahun lalu terdapat 983 juta turis internasional. Benua yang menjadi destinasi favorit turis adalah Eropa. Pasar turis internasional diproyeksikan akan terus tumbuh rata-rata 3,3 persen tiap tahun setidaknya sampai tahun 2030. Pada tahun 2030, angka kedatangan turis secara global akan mencapai 1,8 miliar. Untungnya, seiring dengan usaha pemerintah dalam memperbaiki peningkatan kinerja kepariwisataan di Indonesia. Hal ini lambat laun membuahkan hasil yang cukup baik. Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia pada bulan Maret 2012 mencapai 658,6 ribu orang. Bisa dikatakan naik 10,12 persen dibandingkan Maret 2011 yang mencapai 598,1 ribu orang. Dari 19 pintu masuk wisman, Bandara Ngurah Rai, Bali yang tertinggi yakni 222,950 orang, Soekarno-Hatta 165,927 orang, Batam 103,626 orang, Tanjung Uban 28,471 orang, Polonia 19,228 orang, Juanda 16,257 orang, Husein Sastranegara 13,101 orang, Tanjung Balai Karimun 10,107, Tanjung Pinang 9,841 orang, Tanjung Priok 5,763 orang, Adi Sucipto 4,253 orang, minangkabau 3,147 orang,  Entikong 2,121 orang, Sultan Syarif Kasim II 2,099 orang, Adi Sumarmo 2,024 orang, Sepinggan 1,939 orang, Sam Ratulangit 1,579 orang, Selaparang/BIL 1,348 orang, Makassar 1,277 orang. Dan Lainnya 43,544 orang.
Secara kumulatif (Januari-Maret) 2012, jumlah wisman mencapai 1,90 juta atau naik 11,01 persen dibandingkan wisman pada periode yang sama tahun 2011 sebanyak 1,71 juta orang. Dampak meningkatnya jumlah wisman, sambung dia, juga berdampak pada tingkat penghunian kamar (TPK) hotel berbintang di 20 provinsi pada Maret 2012 mencapai rata-rata 52,70 persen atau naik 0,75 poin dibandingkan Maret 2011 yang mencapai 51,95 persen. Begitu pula pada bulan Februari 2012 mengalami kenaikan 1,92 poin.

Keadaan beberapa tempat wisata di Indonesia cukup memprihatinkan. Diantaranya, Sejumlah obyek wisata di Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur masuk dalam agenda Sail Komodo 2013. Obyek-obyek wisata  tersebut adalah kampung tradisional Waerebo, kampung Tododi Kecamatan Satar Mese Barat. Lingko Lodok Cancar di Kecamatan Ruteng, Situs Liangbua  di Kecamatan Rahong Utara, dan Gua Maria di Golo Curu Kecamatan Langke Rembong. Pemerintah Kabupaten Manggarai diminta lebih pro aktif untuk melakukan promosi pariwisata  di Manggarai. Sail Komodo 2013 salah satu momentum yang tepat dalam mempromosi berbagai potensi priwisata di daerah ini. Menanggapai moment Sail Komodo 2013 tahun depan itu, ia juga meminta pemkab Manggarai untuk berani mengalokasikan APBD-nya guna menggali, mempromosi dan memperkuat jaringan potensi pariwisata  yang dimiliki daerah ini. Masalah yang dihadapi di Manggarai adalah takut berinvestasi dibidang pariwisata karena selalu diukur dari kinerja penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal yang paling penting adalah bagaimana upaya kita agar wisatawan dapat lebih lama tinggal di Manggarai. Bila wisatawan dapat tinggal lebih lama di Manggarai, maka  dampak terhadap penerimaan juga ada.Begitu pula di daerah lain, seperti Pemerintah Kabupaten Bekasi diminta memperhatikan dan merawat Situ Binong yang berlokasi di Desa Hegar Mukti Kecamatan Cikarang Pusat, agar dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam. Pada Kabupaten Bekasi sendiri jarang diketemukan potensi wisata alam, sehingga dengan adanya perhatian pemerintah maka objek yang sudah ada dapat dikembangkan menjadi tempat wisata yang tentunya menarik perhatian masyarakat luas. Selanjutnya, di Sumatera Utara (Sumut) selama ini kita lihat mempunyai potensi besar menjadi destinasi wisata para turis asing maupun lokal di Indonesia. Beberapa tujuan wisata yang menjadi primadona di Sumut antara lain seperti Danau Toba, Taman Nasional Gunung Leuser, Berastagi, Tangkahan, Air terjun Sipiso-piso mapaun air terjun Sigura-gura, dan daerah wisata lainnya jika dikemas dengan baik tentunya Sumut tidak kalah dengan daerah lain seperti Bali, Lombok, dalam hal pariwisata. Namun, yang menjadi masalah pariwisata di Sumut ini ialah masalah infrastruktur, seperti jalan menuju tujuan wisata, listrik, telekomunikasi, maupun fasilitas-fasilitas lainnya di daerah wisata. Tentu hal ini menghambat Sumut dalam mengembangkan potensi wisatanya dan dapat menyebabkan para turis asing maupun lokal enggan untuk berkunjung ke daerah wisata di Sumut. Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) Provinsi Sumatera Utara, Parlindungan Purba, kepada Waspada Online mengatakan setuju bahwa masalah utama kita adalah terletak pada infrastruktur jalan, listrik, telekomunikasi, dan fasilitas lainnya. Dirinya juga menyarankan agar adanya badan otorita yang berfungsi sebgai koordinator program. Namun, tambah Parlindungan, wewenang yang dimiliki kabupaten kota, maupun provinsi harus dapat memainkan peran besar dalam memajukan sebagai Konduktor. Selain itu, dia juga mengkritik Kementrian Pariwisata yang kurang peduli dengan temapt-tempat wisata di Sumut salah satunya ialah kurang diperhatikannya primadona wisata Sumut, Danau Toba. Maka dari itu, kerjasama sinergis antara Pemerintah Daerah, pihak swasta, dan masyarakat dalam mengembangkan sektor pariwisata di daerah, agar dapat terwujud manajemen kepariwisataan yang baik pada seluruh bidang pendukung, sehingga dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap daya tarik wisatawan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan asli daerah, pendapatan masyarakat, dan berkontribusi pula terhadap peningkatan devisa negara. Peran dan kontribusi sektor swasta harus terus didorong dan difasilitasi dalam pengembangan pariwisata, karena selama ini hampir sebagian besar obyek pariwisata dikelola oleh Pemerintah Daerah. Di suatu provinsi misalnya, lebih dari 90% obyek pariwisata dikelola oleh Pemerintah Daerah. Hal ini akan mengakibatkan tingginya tingkat ketergantungan manajamen obyek wisata terhadap alokasi dana APBD. Padahal dalam mengefektifkan manajemen kepariwisataan, diperlukan pemahaman yag tepat mengenai aktivitas ekonomi pasar dari para pemangku kepentingan lainnya, yaitu dunia usaha dan masyarakat. Pemerintah Daerah perlu memberikan perhatian khusus untuk meningkatkan keberhasilan sektor pariwisata, antara lain dengan mengalokasikan dana APBD yang proporsional untuk membiayai pembangunan infrastruktur kepariwisataan (seperti jalan, listrik, dan telekomunikasi), memfasilitasi masyarakat dan pihak swasta dalam mengelola potensi wisata (seperti wisata budaya dan wisata alam), serta promosi dan pemasaran potensi wisata yang ada di daerah. Sinergi tiga pilar manajemen kepariwisataan, yakni Pemerintah Daerah, pihak swasta, dan masyarakat, merupakan kekuatan utama dalam meningkatkan perkembangan sektor kepariwisataan di daerah. Kelemahan peran dari salah satu pilar, akan sangat menghambat upaya pengembangan kepariwisataan.



Sumber :